Kamis, 27 Juli 2017

Jangan Sia-Siakan “Masa SMK”

“MASA SMK” biasanya berkisar usia 15-18 tahun. Di Indonesia, program pendidikan masa SMK secara umum dibagi menjadi dua. Pertama, jalur SMA yang menyiapkan siswanya untuk  memasuki jenjang Perguruan Tinggi. Kedua, jalur SMK, yang menyiapkan siswanya untuk siap terjun ke dunia kerja. Di era 1980-an, pemerintah pernah memiliki program Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP), yang menggabungkan dua jenis program itu dalam satu sekolah. Saya termasuk salah satu lulusan SMPP, tahun 1984.
Di tahun 1981-1984, atas nasehat orang tua, saya menjalani dua program pendidikan. Di SMPPN Bojonegoro dan di Pesantren al-Rosyid Kendal Bojonegoro. Dari ratusan siswa SMPPN Bojonegoro, hanya dua orang yang nyantri di Pesantren al-Rosyid. Di Pesantren inilah saya sempat belajar dan menamatkan sejumlah “Kitab Kuning”, seperti Matan al-Ajurrumiyah, Ta’limul Muta’allim, al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Uqudul-LujainRiyadhus Shalihin, dan sebagainya.
Disamping itu, saya masih rutin membaca Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka. Sejumlah buku sempat mempengaruhi pola pikir saya, seperti buku Tasauf Modern karya Buya Hamka, Iman Jalan Menuju Sukses karya KH Najih Ahjat, al-Quran Dasar Tanya Jawab Ilmiah, Biologi Iman, dan sebagainya. Di pesantren ini pula saya mendapat kesempatan belajar hidup mandiri; dilatih hidup tanpa listrik, tidur tanpa kasur dan bantal, serta memasak dan mencuci sendiri. Uang Rp 5 ribu, cukup untuk sebulan.
Lulus dari jenjang SMPP, alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan kuliah tanpa tes ke IPB (Jalur Perintis II), dan ke Jurusuan Pendidikan Fisika IKIP Malang, melalui jalur PMDK.  Hasil istikharah, saya memutuskan kuliah di IPB.  Itu juga amanah sekolah, karena saya satu-satunya wakil SMPP untuk kuliah di IPB.  Seperti melanjutkan pendidikan pesantren, di Kota Bogor ini pula, saya berkesempatan belajar Islam kepada banyak ulama terkenal, seperti KH Abdullah bin Nuh, KH Tubagus Hasan Basri, KH Sholeh Iskandar, KH Didin Hafidhuddin, Ustad Abdurrahman al-Baghdadi, dan sebagainya.
Pengalaman belajar di SMA dan Pesantren itu terjadi lebih dari 30 tahun lalu. Dunia kini sudah banyak berubah. Perkembangan pesat dalam dunia komunikasi, mau tidak mau juga memaksa dunia pendidikan ikut berubah. Satu yang belum banyak berubah adalah “orientasi lulusan SMA”, masih terarah kepada “Perguruan Tinggi Favorit”. Bahwa, tujuan utama belajar di bangku SMA adalah menyiapkan diri untuk bisa kuliah di Perguruan Tinggi favorit.
Di bangku SMA pada umumnya, biasanya para siswa tidak diberikan kajian-kajian pemikiran yang serius tentang peradaban, tentang sejarah, tentang pemikiran Islam, tentang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Sebab, para siswa SMA dianggap masih “anak-anak”. Mereka dianggap belum dewasa. Dalam istilah lain, para siswa SMA dimasukkan ke dalam ketegori “Remaja”.
Lazimnya, dalam psikologi, remaja (adolensence) dianggap periode peralihan anak menuju dewasa. Ia tidak mempunyai tempat yang jelas. Anak bukan, dewasa belum. Masa remaja berkisar pada usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 pria. (http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/).  Konon pula, menurut pakar Psikologi Perkembangan seperti Hurlock (1990), dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).
Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya pandangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting.” (http://www.psychoshare.com/file-119/psikologi-dewasa/perkembangan-dewasa-awal.html)
Tampak, bahwa konsep remaja itu didasarkan pada penelitian empiris yang sangat tergantung kepada objek penelitian. Padahal, kondisi objek penelitian itu sendiri, ditentukan oleh proses pendidikan yang diterimanya. Jika objek yang diteliti adalah komunitas orang bingung (golongan bingung/golbin), maka kesimpulan yang diraih pun kesimpulan bingung. Coba, yang diteliti adalah anak-anak muda yang sudah mantap iman dan pemikirannya, tentu definisi remaja pun akan berbeda.
Sudah dewasa
Pengkategorian “masa SMA” sebagai masa “remaja” dan “belum dewasa” kini mulai dipertanyakan.  Sebab, begitu memasuki umur  15 tahun, manusia sudah tergolong dewasa.  Adriano Rusfi adalah salah satu psikolog yang dikenal gencar mengkritisi kategorisasi remaja bagi usia SMP-SMA. Beberapa kali saya mendengar paparan beliau. Menurutnya, literatur psikologi abad ke-19 tak mengenal masa remaja (adolescence), karena masa remaja adalah produk abad ke-20 dimana telah lahir generasi dewasa fisik (baligh) namun tak dewasa mental (aqil).
Dengan “legalitas remaja”, seolah-olah anak dibiarkan berlama-lama menjadi anak-anak. Maka, lahirlah generasi yang matang syahwatnya, tetapi tanpa kematangan akal. Karena masih remaja, dan dianggap belum dewasa, maka usia remaja dianggap belum matang, dan masih belum bisa menentukan sikap hidupnya.
Pandangan Adriano Rusfi ini menarik. Sebab, memang tidak jarang muncul kerancuan. Manusia berusia 17 tahun, sudah mampu memperkosa dan membunuh, tetapi dikategorikan status hukumnya sebagai “anak-anak”.  Dalam Islam, jika seorang sudah memasuki tahap ‘baligh’, maka ia sesungguhnya telah dewasa. Ketika itulah seharusnya ia dididik sebagai manusia dewasa. Tentu saja sesuai dengan kondisi usianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar