Kamis, 27 Juli 2017

Kisah : Demi Jadi Guru “Gadaikan” Ijazah kepada Allah

Puluhan proposal saya kirimkan. Namun, tak satu pun yang diterima. Jawabannya nyaris seragam; "Lembaga kami belum membutuhkan tenaga pengajar baru," atau, "Kami butuhnya yang sudah sarjana." Padahal, tak jarang saya jelaskan kepada pengelola sekolah; "Saya siap untuk tidak dibayar, asal diberi kesempatan mengajar.”

MENJADI guru. Itulah cita-cita saya sejak kecil. Tak lain, karena tergiur dengan Hadits Nabi; bahwa kelak ketika manusia meninggal, maka segala urusannya dengan keduniawiaan terputus, kecuali tiga hal. Satu di antaranya ilmu yang bermanfaat.
Nasihat ini kerap saya terima dari orangtua ketika tengah memberi wejangan anak-anaknya. Saya pun terobsesi untuk mewujudkannya. Dengan jalur gurulah wasilah saya ingin mewujudkannya.
Sebagai langkah awal, setiap sore, saya membantu orangtua mengajar TPA. Bertepatan saja, ayah memang sudah lama menjadi guru mengaji.
Selain itu, saya juga membuka les privat mata pelajaran sekolah untuk adik-adik sekitar rumah. Karena niatnya untuk mengamalkan ilmu, saya tidak menarik tarif untuk kegiatan ini. Bahkan, tidak sedikit yang tak bayar sepeserpun alias gratis.
Tak masalah. Bagi saya, yang penting bisa mengamalkan ilmu. Dan adik-adik bisa mengambil manfaat dari apa yang saya lakukan. Itu saja sudah cukup membahagiakan.
Cita-cita menjadi guru ini pulalah, yang melecut diri untuk terus semangat menuntut ilmu. Syukur Alhamdulillah, Allah pun memberikan kemudahan bagiku untuk menyerap ilmu-ilmu di sekolah, terutama bagian eksak/matematika (dan sejenisnya).
Prestasi akademik juga tidak mengecewakan. Saya kerap meraih juara kelas. Meski demikian, sama sekali tidak membuat jemawa. Yang ada, terus semangat belajar demi mengejar cita-cita; menjadi guru profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar